Teks keadilan adalah teks teologis, yang secara artifisial ditulis dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dengan kalimat: Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Ini merupakan transformasi dari teks teologis ke teks yuridis. Keadilan tak bersumber dari “pikiran manusia”. Keadilan tidak lahir dari pendasaran sejarah pemikiran, karena pemikiran manusia mengalami relativitas. Jika ada teori keadilan, misalnya dari John Rawls, maka itu hanyalah pembagian berdasarkan klaster dan tingkatan yang sumber utamanya dari teologi. Sebab itu, Peraturan perundang-undangan meletakkan Tuhan dalam pendasaran keadilannya. Agar hakim sebagai subyek meletakkan dirinya sebagai “hamba” Tuhan. Maka “Hakim wajib memutus perkara dengan adil. Keadilan bersumber pada Tuhan. Sumber keadilan yang lain adalah teks pemikiran para ahli.
Baca Juga: Hukum sebagai Perwujudan Keadilan. Bag 1
Dari sinilah porsi pikiran manusia “eksistensial” atau memperoleh tempat dalam memberi pemahaman terhadap keadilan. Salah satu diantara teori keadilan yang dimaksud antara lain teori keadilan dari Plato yang menekankan pada harmoni atau keselarasan. Plato mendefinisikan keadilan sebagai “the supreme virtue of the good state”, sedang orang yang adil adalah “the self disciplined man whose passions are controlled by reason”. Bagi Plato keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan hukum. Baginya keadilan dan tata hukum merupakan substansi umum dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Jika Plato menekankan teorinya pada keharmonisan atau keselarasan, Aristoteles menekankan teorinya pada perimbangan atau proporsi. Menurutnya di dalam negara segala sesuatunya harus diarahkan pada cita-cita yang mulia yaitu kebaikan dan kebaikan itu harus terlihat lewat keadilan dan kebenaran.
Penekanan perimbangan atau proporsi pada teori keadilan Aristoteles, dapat dilihat dari apa yang dilakukannya bahwa kesamaan hak itu haruslah sama diantara orang-orang yang sama (J.H. Rapar, 1991 : 82). Sejarah pemikiran ini selalu berevolusi, disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan zaman. Tentu saja sumber utama keadilan itu diterapkan dalam dalam penegakkan hukum. Apakah itu perimbangan atau proporsi, apakah itu utilitarianisme, atau harmoni dan keselarasan, titik puncaknya adalah bahwa penegakkan hukum dalam bentuk penegakan norma yang menjadi satu-satunya cara menguji keadilan ditegakkan atau tidak.
Wallahu a’lam bishowab.