Di sana Al Quran tidak berbicara tentang “Kau dan Aku” atau “Kita dan Mereka” dalam meletakkan keadilan. Keadilan mengalami pendasaran teologis yang kuat, karena hampir seluruh teks hukum di Indonesia juga meletakkan posisi Tuhan sebagai pendasaran teologisnya pada saat berbicara tentang keadilan. Selain sumber teologis, terdapat juga sumber yuridis yang secara umum digunakan dalam teks-teks hukum. Hal ini bisa kita lihat dalam konteks posisi hakim yang diletakkan sebagai “wakil Tuhan” yang bertugas untuk menyampaikan kebenaran dan keadilan. Ini sebenarnya bertautan dengan sumber teologis di atas. Atas dasar itu, maka setiap putusan hakim wajib mencantumkan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. * bersambung ke bagian 2
Hukum sebagai Perwujudan Keadilan. Bag 1
On Januari 06, 2022
Januari 06, 2022
Sebagai warga Negara, membicarakan keadilan adalah sama dengan membicarakan dasar-dasar tujuan hukum. Dalam dunia akademik, tujuan hukum dapat dibagi menjadi tiga, yakni: Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan. Itu berarti, teks-teks hukum harus bermuara pada salah satu dari tiga elemen di atas, yakni; keadilan. Apakah keadilan itu?. Secara sederhana, keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil”. Adil artinya tidak berat sebelah, tidak memihak pada apapun selain pada kebenaran. Dalam hal ini bertindak patut atau tidak sewenang-wenang. Teks adil atau keadilan ini dirumuskan dalam banyak kajian dan sumber, terutama sumber-sumber hukum. Seluruh aliran pemikiran dalam ilmu hukum juga menempatkan keadilan sebagai bahasannya.
Dalam konteks yang lebih teologis, Al Quran mengingatkan dengan sangat keras tentang posisi subjek dalam meletakkan keadilan ini. Kita lihat misalnya An-Nisa yang dengan tegas menyatakan: "Wahai orang-orang yang beriman, Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) orang yang kaya ataupun miskin, maka Allah lah yang lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (fakta) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap segala sesuatu yang kamu kerjakan." (Q.S An-Nisa: 135). Sumber teologis ini “meniadakan” subjek pada saat berbicara keadilan. Meniadakan subyek yang dimaksud adalah meletakkan subjek dalam posisi yang setara, meskipun terhadap “diri sendiri”.